Everything I Do

Buka file-file lama. Ketemu cerpen ini. Jadi teringat kenangan waktu cerpen ini jadi juara dua di salah satu perlombaan. Senang sekali mengingat waktu itu saingannya banyak banget dan kesempatan untuk menang sedikit. Hihi. Selamat menikmati saja...

EVERYTHING I DO

“Kanker usus stadium dua. Harus dilakukan operasi pengambilan sel kanker. Kemungkinan berhasil memang tidak 100%, tapi ini dapat menghambat sel kanker untuk menjalar lebih jauh ke organ tubuh lainnya. Lebih baik dicoba, jika tidak… maka kemungkinan hidupmu akan menipis…”

Arghhh!! Aku menunduk sambil memegangi perutku yang melilit. Mendadak aku ingat perkataan Dokter Anwar kemarin. Kanker usus? Stadium dua? Untuk seorang Fauziah yang baru saja menginjakkan kaki di kelas 2 SMA?

Hhh… nggak mungkin! Ini pasti mimpi! Mimpi!


“Zi? Kenapa? Maag-nya kambuh lagi?”

Aku meringis sambil melirik Rendra yang memandangku dengan sejuta tatapan khawatirnya. Tangannya yang besar memegangi badanku yang agak limbung.

Aku mencoba tersenyum. Pelan. “Nggak papa kok, Ren. Cuma mules-mules…”

“Ya gimana mau nggak mules? Makan siang tadi aja pake sambel lima sendok,” celetuk seorang cewek berambut sebahu di sebelahku, Elmi.

Rendra kontan melotot menanggapi celetukkan sahabatku barusan. Dia menatapku marah. “Sambel?

Lima sendok? Gila ya kamu, Zi? Udah tahu punya maag, kenapa nekat makanin sambel banyak-banyak segala?! Pengen cepet mati?!”

Nggak pengen juga aku bakal segera mati, Ren..., keluhku dalam hati.

“Udah, sekarang ke UKS, yuk! Kamu musti cepetan minum obat. Entar perut kamu tambah mules, kamu nggak bisa ikut pelajaran, lagi.” Rendra buru-buru menyeretku ke lantai satu sebelum sempat aku menanggapinya.

Aku kontan melirik Elmi. Cewek manis itu hanya diam mengikutiku dan Rendra. Dapat kulihat, sejuta rasa cemburu hadir di matanya melihat Rendra memegang tanganku begitu erat…

* * *

“Uzi, kamu nih buta apa bego apa bloon apa bodoh, sih?! Cinta di depan mata kenapa malah ditolak?! Kamu tuh sebenernya lagi sok jual mahal atau sok apa, sih?!” cerocos Elmi sambil ngemil Chitato di depanku.

Aku menghela napas. Ini cewek udah ngatain aku buta, pake bego, bloon, bodoh segala, lagi. Emang aku seburuk itu??

“Sok jual mahal apanya, sih? Nggak ngerti, deh…”

Elmi melotot, menatapku gemas. “Pake pura-pura nggak tahu, lagi. Kalau kamu bukan sahabat baikku, udah tak remes-remes mukamu! Jangan sok bloon lagi, deh. Sekarang jawab pertanyaanku! Tadi itu… udah kali ke berapa Rendra bilang sayang sama kamu? Cinta sama kamu??!”

Aku terdiam. Bayangan Rendra yang memberikanku sebuah coklat diiringi kata-kata cinta dari mulutnya beberapa jam yang lalu kembali muncul.

“Kok diem?” Elmi melirikku. Aku salting. Elmi mendengus gemas. “Uzi… Uzi… aku tahu, kamu juga suka kan sama dia? Nah, cinta kalian kan nggak bertepuk sebelah tangan. Musti nimbangin apalagi, sih??”

Nimbangin kamu. Kalau aku jadian sama Rendra, gimana kamu?

“Kenapa ngeliatin aku begitu??” tanya Elmi sambil menyipitkan matanya.

Aku tersenyum kecil. “Enggak. Nggak papa. Cuma… lucu aja. Yang ditembak sama Rendra kan aku, kok kamu yang panik sih? Jangan-jangan… kamu nih yang naksir sama Rendra?!!”

Buk! Sebuah bantal disarangkan ke mukaku dengan telaknya. Uuukh! Sahabat apaan sih ni? Orang sakit malah dilemparin pake bantal. Sialan!

“Elmii! Kamu kok rese’ banget, siiih? Dilarang merusak fasilitas UKS, dong!” Aku melempar balik bantal itu ke mukanya.

Elmi ngeles sambil meleletkan lidahnya panjang-panjang. “Lagian, lo rese’ sih! Pake ngatain aku naksir Rendra segala. Plis deh, Zi, mikir tuh pake otak! Siapa sih yang mau sama cowok yang bisanya cuma mikirin cewek yang nggak pernah mikirin dia?!!”

Yee… nyindir aku, lagi… Tapi, bukannya itu kan yang bikin kamu tertarik sama Rendra, Mi?

Aku tersenyum penuh arti.

* * *

“Siaang, Doook!!”

Wajah cerah itu tampak bersinar waktu aku masuk ke ruang prakteknya yang letaknya nggak jauh dari tempat sekolahku berdiri. Dokter Anwar berdiri sambil memperhatikanku yang berjalan ke arahnya. “Udah pulang, Zi? Tumben cepet?”

“Iya… aku izin. Habisnya…” Aku tak melanjutkan perkataanku. Hanya mengusap-usap perutku, dan Dokter Anwar langsung mengerti.

“Eng… maaf kalau berita kemarin sudah bikin kamu syok dan nggak konsen sama pelajaran, Zi. Lagipula itu baru dugaan, kok. Kalau mau, kamu bisa tes ulang untuk lebih jelas hasilnya,” ujar Dokter Anwar ragu.

Aku tersenyum pelan. “Nggak usah. Aku percaya kok kalau dokter itu bener-bener spesialis yang hebat! Lagian aku nggak mikirin ini, kok. Cuma… Dokter punya penawar rasa nyerinya, nggak? Perihnya itu yang bikin aku nggak kuat…”

Dokter tak menjawab, hanya menatapku dalam. “Kamu sudah bilang sama keluargamu soal ini?”

Aku terdiam. Menggeleng pelan.

Dokter mengerutkan keningnya. “Kenapa? Ini tuh berita penting, Zi. Masalah besar. Antara hidup dan matimu. Kamu harus bilang sama keluargamu, apalagi orang tuamu. Jangan sampe kamu menyesal, Uzi.”

Aku terdiam sesaat. “Yang bikin aku nyesel itu kalau sampe Mama tahu dan pingsan denger soal ini.

Aku nggak mau bikin mereka panik, Dok. Aku nggak mau bikin mereka kecewa.”

“Apa yang harus dikecewain?”

“Ya kecewa kalau ternyata aku mengidap penyakit yang bikin hidupku nggak lama lagi.” Aku menghela napas. “Aku bener-bener nggak bisa, Dok. Aku nggak mau bikin semuanya sedih. Tunggu aku siap dulu, deh. Pada akhirnya nanti aku juga bakal ngomong sama mereka semua.”

Dokter Anwar menghela napas. “Sampe kapan harus nunggu kamu siap, Zi? Stadium dua, lho. Kamu harus inget itu. Orangtuamu di Bandung juga pasti nggak bakalan setuju kalau kamu ngomongnya nanti-nanti. Terus… gimana sama Elmi? Rendra? Mereka berdua sahabatmu dari kecil kan?”

Aku menggeleng pelan. “Mereka juga belum ada yang tahu.”

“Mereka pasti akan marah kalau tahu kamu menyembunyikan rahasia besar ini dari mereka.” Dokter menatapku tajam. Tanpa ekspresi.

“Dokter…” Aku menghela napas panjang. “Ini urusan aku. Biar aku aja yang nentuin kapan saatnya aku bicara. Biar aku sendiri yang nentuin apa yang akan aku lakuin. Dokter tenang aja. Aku pasti baik-baik aja, kok. Aku kan kuat!” Aku tersenyum lebar sambil mengangkat kedua tanganku.

Dokter Anwar tertawa. Tak tulus.

* * *

Purwokerto. Kota kecil yang telah memisahkan ribuan mil jarakku dengan orangtuaku yang ada di Bandung sana. Atas kesepakatanku dengan Elmi dan Rendra, aku memilih melanjutkan sekolahku ke sebuah SMK Telkom yang berdiri megah di kota kecil ini. Yach… sebenarnya sih sekolah yang sama ada juga di Bandung. Tapi berhubung waktu itu formulir habis, dan kami bertiga ngebet banget mau sekolah di Telkom, makanya kami bela-belain jauh dari kampung halaman menuju ke sini.

Setahun lebih berhasil dilewati tanpa ada halangan. Hingga akhirnya, beberapa hari yang lalu, tepat beberapa hari setelah aku naik ke kelas 2, aku mengetahui bahwa di dalam tubuhku ini telah hidup sebuah ‘makhluk’ ganas yang setiap saat bisa saja mengambil nyawaku. Karena terus merasa perutku sakit yang tak kunjung sembuh, aku mengecek kesehatanku ke Dokter Anwar, petugas kesehatan sekolah yang kebetulan juga seorang dokter spesialis di kota ini. Dan… datanglah berita buruk itu! Aku mengidap kanker! Stadium dua!

Sama sekali nggak pernah kufikirkan kalau hidupku akan berjalan secepat ini. Bahwa hidupku akan berhenti oleh sebuah makhluk yang dengan teganya bersarang begitu saja di badanku tanpa pamit tanpa permisi. Begitu tahupun sudah stadium tinggi. Sudah banyak cerita kan, kalau seorang pengidap kanker hidupnya nggak lama lagi? Bahwa 85% pengidap kanker akan mati oleh penyakitnya itu sendiri? Apa iya aku harus mati begitu saja tanpa merasakan separuh indahnya dunia ini? Tanpa merasakan kebanggaan hasil kerjaku setelah lulus dari sini? Tanpa sempat melihat senyuman bangga dari orangtuaku? Tanpa sempat melakukan apa yang seharusnya aku lakukan? Tanpa sempat merasakan cinta? Atau dicintai?

Memberitahukan bahwa aku seorang pengidap kanker sama saja membunuh semua harapan orangtuaku kepadaku. Apalagi aku adalah anak sulung, seorang kakak dari tiga orang adek yang masih kecil. Akulah tumpuan orangtuaku. Apakah apa yang selama ini mereka lakukan padaku hanya akan berbuah sia-sia? Aku dilahirkan, dibesarkan, disekolahkan dengan tujuan menjadi orang yang akan berguna nantinya akan sia-sia? Karena toh hidupku akan berakhir sebelum sempat aku menyelesaikan kelas 2-ku di SMA?

Operasi. Itulah satu-satunya jalan yang Dokter Anwar tunjukkan kepadaku. Tapi aku nggak mau melakukannya kalau pada akhirnya operasinya tidak berjalan lancar. Sudah buang uang banyak untuk biaya operasi, eh ditambah nyawaku tak terselamatkan. Tambah beban, dong.

Aku juga nggak sanggup mengatakan hal ini pada Elmi dan Rendra, dua orang sahabatku dari kami kecil. Aku nggak mungkin bikin mereka tambah sedih. Apalagi Rendra… Yach, kuakui aku menyukainya. Dan sangat menyayanginya. Betapa bahagianya aku waktu dia menyatakan cintanya.

Kepadaku! Tapi… dengan keadaanku sekarang? Ditambah kalau Elmi sebenarnya juga menyukainya?

Aku yang sudah diikuti oleh malaikat maut ini nggak akan mungkin bisa bikin Rendra bahagia. Apalagi Elmi. Duuh… sebenernya aku ini harus gimana?

* * *

Perutku tambah melilit. Urgh… susah payah aku menahannya. Bahkan sampe kuremas segala. Tapi rasa nyeri itu tak kunjung berhenti.

Sudah satu bulan sejak aku mendengar musibah itu. Dan Dokter Anwar marah-marah waktu tahu aku sama sekali belum bilang siapa-siapa soal penyakitku ini. Tambah cemas dan ngamuk lagi waktu tahu hasil tes terakhirku : Stadium tiga! Begitu cepatnya sel kankerku ini berkembang? Baru satu bulan udah stadium tiga?

Aku pasti akan mati…, begitu pikirku dalam hati. Aku tahu menyerah itu nggak baik. Tapi dilihat dari kondisinya sekarang, aku yakin kematian itu akan segera datang menjemputku. Operasi sekarang pasti juga sudah terlambat. Sudah stadium tiga. Akhir! Dan sangat akut! Aku harus melakukan sesuatu! Sebelum semuanya terlambat!

“Kenapa sih, Zi? Akhir-akhir ini kamu suka sakit perut? Maag kamu tambah ganas, ya? Makanya kalau makan yang teratur, dong…” Rendra memegang kepalaku lembut. Aku buru-buru meminum obat maag yang diberi Elmi. Meski aku tahu obat itu nggak akan manjur dan bakal bikin penyakitku tambah banyak aja.

“Kalau nggak kuat, istirahat aja, Zi. Muka kamu udah pucet gitu,” ujar Elmi khawatir.

Aku mencoba tersenyum, menggeleng pelan. “Enggak. Aku udah nggak papa, kok. Cuma sakit maag biasa…” jawabku mencoba tenang. Meski nggak mungkin bisa karena perutku semakin nyeri rasanya. “Oh iya, gimana naskah Inggrisku? Udah dikirimin ke panitia?”

Elmi mengangguk cepat. “Udah beres, kok. Tinggal tunggu pengumumannya.”

“Aku yakin kamu pasti menang, Zi. Makalahmu oke banget, deh. Aku bangga punya temen yang jago Bahasa Inggris kayak kamu.” Rendra tersenyum menatapku.

Aku yakin, mukaku pasti merah banget sekarang dipuji begitu. Uukkh… sempet-sempetnya malu di saat perut masih asyik nyeri begini…

“Oh iya, Zi, minggu depan kita mudik, yuk. Udah hampir dua bulan nih nggak balik ke Bandung. Kangen…” ucap Elmi sambil tersenyum melirik Rendra.

“Iya, Zi. Kita mudik, yuk. Aku kan punya banyak cerita buat adek-adek kamu. Aku juga udah janji mau ngajarin Fahmi, Fathan, dan Fatya renang,” tambah Rendra.

Mendadak aku ingat ajalku. Apa aku masih bisa janji buat hari yang belum pasti itu? Apa aku masih punya kesempatan untuk hidup sampai hari itu?

“Er… boleh aja. Tapi… kalo sempat, ya?” Aku menatap kedua sobatku itu.

“Kok kalo sempat? Emang kamu mau kemana, sih?” tanya Elmi.

Menghadap Illahi…

Aku tersenyum. “Nggak papa, kok. Nggak kemana-mana. Eh, ada yang mau aku titipin nih ke kalian. Boleh nggak?”

Rendra dan Elmi bertatapan bingung.

Aku menghela napas. “Aku cuma mau bilang, tolong kalian jagain keluargaku, ya? Rendra, aku tahu kamu orang yang paling deket sama Triple F setelah aku. Makanya tolong jaga mereka. Elmi, kamu satu-satunya orang yang bisa bikin mamaku tenang. Jadi, tolong jagain Mama, ya? Gantiin aku juga. Bisa kan?”

Elmi menatapku bengong. Menggenggam tanganku erat. “Kok mendadak kamu bilang gitu sih, Zi? Nyeremin banget?! Nggantiin kamu apaan?!”

“Ya… gantiin aku. Kamu musti rebut posisiku dari…” Aku mengerling Rendra. Elmi melotot, mencengkeramku tambah erat. Salting kayanya… “Kamu bisa kok rebut hatinya. Karena secinta apapun aku padanya, cinta itu nggak bisa aku persembahin untuknya. Makanya biar kamu aja yang ngasih…”

“Apaan sih, Zi?!” Elmi tertawa garing. Rendra menatap kami bengong.

Ukh! Perutku tambah perih. Ya ampun! Nggak tahan! Bener-bener nggak tahan! Ukh… aku nggak tahu kalau kanker bisa bikin tubuhku kejang-kejang kayak gini. Aku meringkuk meremas perutku kencang. Dan mendadak semuanya gelap…

* * *

Cahaya putih menerangi jarak pandangku. Kosong. Yang ada hanya putih, putih, dan putih. Aku ini ada dimana? Rumah sakit?

“Uziii?!! Ya Allah, gimana bisa begini?!!!”

Raungan dan erangan keras itu terdengar begitu jelas. Disusul tangisan-tangisan yang menyayat hati. Itu suara Mama! Tapi… dimana? Dimana asal suara itu?

“Ziii, bangun doong. Kamu harus lihat piala ini, piagam ini. Kamu harus lihat hasil kerja kerasmu. Makalahmu menang, Zi! Juara pertama! Kamu berhasil, Zi! Ayo bangun doong!”

Suara Elmi dan Rendra bersahutan kencang. Disusul backsound tangisan yang lebih keras lagi. Ya Tuhan… sebenernya sekarang ini aku ada dimana?

“Tenang, Bu. Yang Di Atas sudah memberikan jalan ini untuk Uzi. Mungkin ini yang terbaik…” Suara Dokter Anwar!

Dokteeer! Dokteeer! Aku disiniii! Gimana kankerku, Dook?! Aku udah sembuh belum?!!

O ow! Suaraku bener-bener nggak keluar!

Pluk! Sebuah buku tiba-tiba saja terjatuh dari atas. Aku buru-buru menghampirinya. Kalimat pertama yang kulihat di sampulnya bener-bener tak asing buatku. My Last Article For My Life. Oh… my… ini kan makalah yang kutulis. Tentang perjalanan seorang pengidap kanker yang pada akhirnya menjemput ajal oleh penyakitnya itu sendiri. Jangan-jangan…

My Last Article For My Life. Makalah itu benar-benar tulisan terakhirku yang kutinggalkan di dunia ini. Aku telah memberikan sebuah kenangan manis dan prestasi yang baik untuk orangtuaku. Tapi maaf… aku belum sempat izin pergi dengan Mama-Papa. Sorry…

Aku tersenyum pada dunia putihku yang mulai meredup. Aku mengerti. Sangat mengerti dengan apa yang sedang kualami sekarang. Diary khayalanku menjadi kenyataan…

* * *

0 komen:

Posting Komentar