Lagi bukak-bukak file lama di komputer ... Muncul juga ni file terpendam ... Ku aja ampe lupa buatnya kapan ... Hahags ... Yeah, daripada mendem aja mending dikeluarin deeh ... Silahkan dinikmatii ... Heheheh
Kalau ada satu alasan yang membuat Eira betah di acara rapat OSIS yang menurutnya membosankan ini pasti itu adalah komik Naruto yang paginya dibawakan Rendra ke sekolah dan sekarang tengah ia baca, mengacuhkan Olga yang sibuk berkoar-koar entah apa di depan sana. Terus terang, Eira tuh males banget kalau disuruh menyisihkan waktu pulang sekolahnya untuk kumpul nggak jelas dengan dalil rapat seperti ini. Iya, sih, awalnya memang membahas tentang acara tujuh belasan besok. Tapi, selanjutnya, selanjutnya... apa coba? Mulut Olga itu malah nyerocos nggak jelas tentang adik kelas yang kurang sportif lah, kakak kelas yang kurang inisiatif lah, teman seangkatannya yang sok-sokan lah, sampe ide lomba masaknya yang ditolak abis-abisan sama peserta rapat. (Lah, kok jadi nyambung ya?)
Curhat colongan. Gitu deh yang seringnya terjadi. Cewek Ketua OSIS kita yang semangatnya berapi-api itu emang suka banget ngadain curhatan massal. Yang curhat dia, yang ndengerin ya anak-anak OSIS yang hadir rapat. Curhatnya ya seputar nasibnya sebagai Ketua OSIS yang harus menanggung ulah anak buahnya. Nanti kalau anak-anak udah mulai bosen dan pada ngobrol dhewek-dhewek, baru deh Eira yang jadi korbannya…
“Eiraaaa! Kamu kan ketua panitianya! Pimpin rapat, doong!!”
Eira melongo. Lhooo, Mas Narutonya kan baru sampe halaman 30!!
***
“Jadi, yang paling seru tuh waktu Naruto dapet misi nyelametin Gaara dari Akatsuki. So sweet banget waktu denger alasan Tsunade masukin Naruto ke misi ini. Katanya, ‘yang bisa mengerti perasaan jinchuuriki adalah jinchuuriki’. Waaaa! So sweet nggak, Gas? So sweet kan? So sweet kan?!”
“Duuh. Iya, iya, sesukamulah! Terus ini gimana, dong?! Kandidat lomba dari kelas 1TKJ1 belum nyampe. Mereka tuh ngasih nggak sih?” Bagas ngedumel sambil garuk-garuk kepala pusing melihat lembaran-lembaran kertas terhampar di atas mejanya.
Tak menjawab, Eira duduk tak jauh dari Bagas sambil manyun-manyun sebel. Obrolannya tentang Narutonya ini bener-bener nggak nyambung. Satu-satunya manusia yang antusias ngobrolin Naruto dengannya tuh cuman Rofid (meski ada berantem-berantemnya, soalnya Rofid lebih nonjol ke kubunya Sasuke sementara Eira tetep Naruto’s fan). Tapi kenapa sih Olga iseng amat naroh dirinya jadi panitia inti? Ketua pula! Ke-tu-a, lho! Sebuah kutukan si tukang santai, males, dan ogah-ogahan kayak Eira bisa dilantik jadi ketua. Buta kali ya si Olga itu?
“Ra, mau nagih daftar peserta ke 1TKJ1 nggak?” tawar Bagas sambil melirik cewek tomboi itu.
Eira mengangguk malas, berdiri dari duduknya, dan berjalan malas ke luar ruangan. Tapi belum sampai bibir ruangan, gerakannya sudah terhenti karena tiba-tiba saja dari arah berlawanan sudah muncul seorang cowok yang masuk ruangan membawa sebuah kertas kecil.
“Ups, maaf,” dia langsung menyingkir begitu sadar mau nabrak Eira. “Bagas, ini dari 1TKJ1,” ujarnya kemudian sambil mendekati Bagas dan menyerahkan kertas di tangannya, duduk di seberang Bagas.
Eira menatap dua orang serius itu sambil menghela napas. Kutukan kedua : dia punya dua partner ahli bermuka datar. Maksudnya bermuka datar, merka itu jarang banget senyum apalagi ketawa. Kayaknya seluruh keseriusan di muka bumi ini dilimpahkan pada mereka deh sampai lupa senyum. Punya anak buah menjanjikan seperti itu, kenapa cuman dikasih posisi Wakil dan Sekertaris doang? Si tukang curhat itu pikirannya kemana sih?
“Sakti, gini aja. Kamu ngerjain proposal, biar aku yang ngurusin ijin tempat dan lain-lain. Gimana?” Bagas menatap partnernya.
Sakti mengangguk-angguk. “Oke, deh. Aku mulai ya,” ujarnya sambil beranjak ambil posisi di depan komputer yang terletak di pojok ruangan.
“Aku ngapain?” tanya Eira kontan sambil melongo.
“Tanda tangan aja,” jawab Bagas enteng.
Tapi jawaban itu terdengar tak enteng di telinga Eira. Tanda tangan? Doang? Dia ketuanya kan? Apa ketua kerjaaannya cuman tanda tangan doang?
***
“Ketua tuh kerjaannya ngapain sih, Fid?” tanya Eira di teras kos-kosannya Rofid. Niatnya sih sore ini dia mau ngembaliin komiknya Rendra sekalian pinjem yang lainnya (Rendra satu kos sama Rofid), tapi siapa sangka temannya yang satu itu lagi baik hati banget mau nraktir Eira bakso yang lewat di depan kosnya. Sekalian deh Eira ngeluarin uneg-unegnya.
“Yaaa… gitu, deh. Ngatur ini-itu, tanggung jawab ini-itu, tanda tangan ini-itu… Banyak, deh. Kalau denger curhatannya Olga yang sampe setengah sakit jiwa itu, pasti susah!” jawab Rofid sambil mengunyah baksonya.
Eira diam sambil menimbang-nimbang mangkuk baksonya. “Tapi… kok kayaknya kerjaanku nggak ada mikir-mikirnya sih?”
“Ya bagus, dong. Jadi otakmu masih tetep disitu, nggak kemana-mana.”
“Maksudnya?” Kening Eira mengkerut.
“Yaaa… kamu kan manusia setengah bodoh, setengah telmi, setengah nggak pinter. Naaah, kalo disuruh ngerjain Matematika perkalian aja udah bikin otakmu mengkirut, gimana kalau disuruh mikir serius yang lain? Bisa-bisa otakmu jempalitan dan tau-tau udah ngabur entah kemana, lagi.”
Rasanya pengeeen banget Eira belajar mantra mengubah manusia jadi kodok dan mempraktekannya sekarang juga. Rofid tu nggak setia kawan banget! Pake ngatain dirinya… apa tadi… oh iya… setengah bodoh lah, setengah telmi lah, setengah nggak pinter lah… Sama aja kesimpulannya satu : bego!
“Kamu kali yang bego!” Eira manyun kemudian menyuap bakso.
Gantian Rofid bengong. “Kok jadi ngatain aku bego?”
Eira diam. Pikirannya terfokus pada bakso di dalam mulutnya dan perasaan terasingnya. Terasing? Iya. Eira suka ngerasa dia nggak pernah dilibatin ini-itu sama Bagas. Kalau ada apa-apa, pasti Bagas sama Sakti yang ngurusin. Giliran Eira malah disuruh tanda tangan doang. Sebenernya yang ketua tuh yang mana sih? Eira ketua, tapi kok nggak dianggap gitu? Apa memang dirinya yang nggak pintar? Atau Bagas nggak percaya lantaran kemalasannya yang lebih terkenal dari kemampuan otaknya? Gini-gini dia kan jago merubah suasana (Lah, apa hubungannya, Ra?).
“Jadi masalahmu apa?” tanya Rofid.
“Lupakan!” jawab Eira ketus. Kadung kesel.
***
Eira manyun. Masih tak dianggap. Dan kayaknya kali ini lebih parah.
Tiba-tiba Bagas ngumpulin anak-anak di ruang OSIS, ngomongin soal jadwal lomba dan puncak acara. Saat Bagas asyik menerangkan begitu, Eira cuman bisa melongo. Bengong. Asli, sumpah, dia sama sekali nggak tahu apa yang diomongin Bagas. Malah nggak nyambung. Apalagi waktu tiba-tiba Olga ngedeketin dia dan ngucapin selamat atas kesuksesan Eira memimpin anak buahnya. Olga puas banget dengan presentasi Bagas di depan. Eira tambah bengong. Selamat buat apa? Dia kan nggak ngapa-ngapain. Jadi sebenernya ketuanya tuh siapaaaa??
“Kamu kan?” Bagas balik nanya dengan kening super berkerut. Sebenernya cewek satu ini kenapa sih? Ada kejadian apa sampe tiba-tiba dia amnesia dan nggak inget posisinya sendiri?
“Kamu sadar kalau aku ketua. Tapi kenapa…?” Eira tak melanjutkan kata-katanya. Entah kenapa suaranya jadi terhenti begitu sadar Bagas tengah menatapnya. Dalam dan tajam.
“Apa?” Bagas balik nanya.
Eira mendengus sambil memalingkan mukanya. “Lupakan!” Eira mengambil berkas di atas meja dan mencoba mempelajarinya. Meskipun sama sekali nggak ada yang masuk ke otaknya. Menurutnya membaca puluhan komik Naruto dalam sehari itu lebih mudah daripada membaca berkas satu ini dalam beberapa menit.
Bagas nggak langsung diem mendengar kata ‘lupakan’nya Eira. Bagas mengulum senyumnya. Dia tahu benar apa yang hendak diprotes ketuanya itu.
“Kamu ketua tapi kenapa aku yang bolak-balik ngurusin ini-itu?” ucap Bagas disela kesibukannya.
“Itu kau tahu!” timpal Eira sambil menatap cowok ceking itu kesal.
“Kamu merasa nggak diperlukan, heh?”
“Itu kau tahu!” Eira tambah manyun. “Jadi sebenernya yang ketua itu aku apa kamu?” Eira menatap Bagas kesal.
“Coba lihat susunan panitianya lagi. Nama ketuanya aku apa kamu?”
Eira manyun. “Jelas aku pake nanya,” rutuknya lirih.
“Bukannya kamu yang nanya?”
Eira melotot. “Anggap aja aku nggak pernah nanya!” ujarnya kesal lalu meninggalkan ruangan dengan langkah dihentakkan. Sementara Bagas cuma senyum doang melihat cewek yang baru saja ngambek padanya itu.
***
“Jadi, Ga, coba kamu cek ulang deh!”
“Apanya?” tanya Olga bengong.
“Susunan panitianya. Siapa tahu pas lagi nyusun itu kamu baru sadar dari pingsan atau apa.”
“Kamu tuh yang baru sadar dari pingsan!” Olga menggulung tambang yang baru saja didapatnya untuk lomba tarik tambang nanti yang kemudian akan dimasukkan ke dalam kotak penyimpanan alat lomba.
“Kamu ngerjain aku?” tanya Eira. Olga bengong. “Kenapa aku dijadiin ketua?” lanjutnya.
“Jelas. Biar kamu nggak bacain Naruto mulu tiap rapat,” jawab Olga tegas yang langsung bikin Eira melongo. “Selebihnya… tanya aja Bagas.”
Udah bukan melongo lagi. Tampang Eira kini sudah tak bisa diungkapkan dengan kata-kata lagi. Ancur deh pokoknya. Kalau kamu tiba-tiba denger ada gajah beranak singa berkulit ungu tanpa gigi pada malam kabisat, mungkin wajahmu mirip-mirip gitu sama tampangnya Eira sekarang.
“Bagas? Apa lagi tuh?”
“Yang nyusun itu kan aku sama Bagas,” jawab Olga menyebut wakilnya itu. “Udah deh. Emangnya kamu nggak punya kerjaan lain selain mbaca Naruto sama nanya-nanya nggak penting apa?”
Eira manyun. Sementara Olga sudah melenggang santai meninggalkannya dengan gulungan tambang di tangannya.
***
“Eira, ada ide lomba yang lain nggak?”
Eira yang lagi nyobek-nyobek kertas kebosanan itu melirik Bagas sinis. “Tumben nanya? Aura keberadaanku masih kerasa, tho?”
Bagas bengong sesaat. Kemudian nyengir manis. “Kamu tuh aneh ya? Dicuekkin ngambek, ditanyain ngambek. A-n-e-h!”
“Yeee, kamu tuh aneh!”
“Ya udah, jadi idemu apa?”
“Nggak ada. Nge-blank.”
Bagas manggut-manggut. “Kirain kamu bakal nyetusin ide duel Naruto Battle Arena antar kelas.”
Eira melongo. Seorang Bagas? Bisa ngomong gitu? “Kenal darimana Naruto Battle Arena?”
Bagas melirik Eira. “Aku juga anak komputer, kali.”
“Kupikir kau tidak tertarik dengan Naruto?” Eira menyipitkan matanya.
“Siapa bilang? Kamu nggak tahu kalau aku ngikutin kartunnya tiap hari?”
“Kamu nggak kelihatan kayak orang seperti itu…”
“Emang aku harus kasih lihat orang-orang kalau aku suka Naruto? Bisa dikira anak kecil entar…”
“Kamu ngira aku anak kecil?!” suara Eira meninggi.
Tak menjawab, Bagas hanya tersenyum kalem.
“Jadi kenapa kamu milih aku jadi ketua? Buat diacuhin? Dijelekkin? Dianggap anak kecil?”
Bagas menghentikan kegiatannya. Menatap Eira dalam. “Pandanganmu kok jelek banget sih?”
“Semua bakal berpandangan jelek kalau ada di posisiku sekarang.”
“Suudzon, lagi.”
“Emang!”
Bagas menghela napas. “Oke, E…i…ra… Aku suka kamu. Itu salah satu alasan milih kamu jadi ketua.”
Eira diam, menatap Bagas tanpa ekspresi. Sebenarnya sih dia bengong berat. Pengen melongo semelongo-melongonya. Tapi gara-gara kaget itu dia jadi lupa wajah melongo kayak gimana. Jadinya tanpa ekspresi aja, deh.
“Nggak nyambung,” timpal Eira sinis. “Aku nggak ngerasa suka kamu.”
“Wei, aku nggak minta kamu harus berperasaan sama!” sahut Bagas setengah salting. “Emang agak nggak nyambung. Tapi… mungkin dengan kamu jadi ketua, aku wakilnya, kita jadi sering bareng. Gitu kali, ya?”
Eira tambah kehilangan ekspresinya. Andai di komik, udah ada batu segede gunung menimpa kepalanya. “Kalo gitu kenapa bukan kamu aja yang jadi ketuanya, bodoh? Ngerjain aku?”
Bagas mengatur napasnya. “Yaa… kupikir kamu pasti seneng berada di posisinya Naruto? Sadar nggak sih? Aku lagi nempatin kita bertiga seperti Team 7-nya Kakashi. Aku buat kamu jadi Naruto, ketua yang… ya… agak-agak telmi dan ceroboh itu. Masa’ kamu nggak sadar?”
Eira mengerjap-kerjapkan matanya. Takjub. Sungguh, dia sama sekali nggak paham dengan jalan pikiran manusia satu di depannya ini. Itu bukan alasan kan, Saudara-Saudara? Itu konyol banget kan, pemirsa?
“K-O-N-Y-O-L, tau?! Kamu tuh! Aneh!” ucap Eira terbata.
Bagas merenges. “Emang. Jadi? Udah nggak ngambek lagi dong?”
Eira mendengus. “Tauk, ah. Aku jadi bingung sendiri.”
“Ya udah. Bantuin aku sini! Kamu kan ketua!”
Eira garuk-garuk kepala bingung.
“Sambil cerita Naruto nggak papa, deh. Dari kemaren aku coba sok jaim kayak Sasuke. Tapi ternyata nggak enak. Aku juga nonton kok bagian Naruto nyelametin Gaara. Dan kata-kata Tsunade waktu itu emang agak menyentuh. Tapi aku lebih suka pas Naruto mulai ketemu Sasuke terus Sasuke ngeliat Kyuubinya Naru. Sharingannya keren. Udah nonton sampe situ belum?” Bagas nyerocos panjang.
Eira nyengir sambil garuk-garuk kepalanya bingung. “Ya… eng… belum, sih…”
“Mau? Aku punya DVD-nya, loh.”
Bingungpun sirna. Eira’s come back begitu denger tawaran itu. Menggiurkan, bow! Dapet pinjeman gratisan! “Serius, nih?”
Bagas mengangguk. “Tapi nggak ada acara ngambekkan lagi. Terus kamu bantuin aku nyusun berkas ini dan nemenin aku ngobrol soal Naruto.”
Cuping hidung Eira langsung naik. “Beres! Beres! Syarat gampang! Jadi… setuju kan kalau perasaannya Naruto ke Gaara dan sebaliknya tu kuat banget?! Emm… tapi emang sih perasaannya Naruto ke Sasuke lebih kuat. Tapi aku sih lebih suka Naru-Gaara ketimbang Naru-Sasu!”
“Nggak suka Sasuke pasti?”
“Iya! Emang nggak suka!!!”
…
…
…
“Eh, aku nggak romantis, ya?”
“Hah?”
“Aku mau ngungkapin perasaanku lagi, ah. Kapan ya, Ra?”
“…”
“Boleh nggak?”
“Em… iya, sih. Yang tadi aku nggak denger jelas. Kamu emang nggak romantis!!”
“…”
“Pas Agustusan deh kamu ulangi lagi! Tapi di depan anak satu sekolahan.”
“Pasti diterima nggak tuh?”
“Emang kamu nanya? Kan cuman ngomong doang.”
“Besok pake embel-embel nanya.”
“…”
“Pasti diterima nggak?”
“…”
“…”
“Tipeku yang kayak Naruto, lho.”
“Waaah! Masa’ aku harus sebodoh dia?”
“Enak aja ngatain Naruto bodoooh!!!”
***
Purwokerto, 13 Juni 2008
0 komen:
Posting Komentar